=====================
IPNU, Pesantren, Sekolah Dan
Masyarakat Pembelajar
=====================
Mujtahidur Ridho SZ
Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006
Ketua Umum PP. IPNU 2003-2006
Reorientasi dan
reparadigmatisasi gerakan IPNU, sejak terjadi
perubahan Putra menjadi Pelajar dalam
Kongres di Surabaya, menjadi keniscayaan. Gerakan
IPNU sekarang berpusat pada pelajar.
Gerakanya-pun seputar dunia pelajar dengan
basis sosial pelajar pada dasarnya organisasi
kita ini sedang mendayung perahu peradaban.
Untuk jangka pendek mungkin hasilnya tidak
dapat dilihat begitu saja. Namun dalam
jangka panjang, buah gerakan peradaban
tersebut akan menjadi kekuatan masyarakat
signifikan. Sebab dimanapun, kapanpun, kekuatan
masyarakat terefleksikan dalam kualitas sumber
daya manusia generasi mudanya.
Di sini, IPNU memiliki tangung jawab
kesejarahan penting. Bagaimanapun sumber daya
manusia merupakan kemajuan peradaban masyarakat.
Apalagi jika dilihat posisi IPNU sebagai
organ yang tidak dapat dilepaskan dari IPNU.
Sebagaimana diketahui, IPNU merupakan organisasi
dibawah NU. Kacamata NU, tugas IPNU adalah
dua hal pokok; melakukan advokasi kebijakan
dibidang pendidik an, dan mendorong tumbuhnya
intelektual-intelektual muda kritis. Peran
tersebut dapat disederhanakan sebagai peran
memb`ngun masyarakat pembelajar.
Jika diidentifikasi, peran IPNU sebagai
pendorong masyarakat sebagai pembelajar berada
dalam dua ranah, yakni ranah struktural
dan kultural. Dua ranah ini saling
sinergis dan digerakkan secara bersamaan.
Keduanya merupakan manifestasi atas penerjemahan
IPNU sebagai organisasi adfokasi kebijakan
dan pembentukan intelektual muda.
Dalam rana yang pertama, IPNU dituntut
kritis terhadap semua produk kebijakan
pendidikan. Mulai dari tingkat global,
nasional dan lokal. Dalam hal ini
semua kader IPNU seharusnya memiliki
kesadaran kritis terhadap dunia ini. Pendikan
bukanlah wilayah netral. Dunia pelajar
seperti sekolah atau universitas menentukan
bangun masyarakat Indonesia 5,10,15 tahun yang
akan datang. Struktur formasi sosial
masyarakat ke depan dilihat saat ini.
Disini kita menghadapi paling tidak dua
medan medan pertarungan.
Yang pertama adalah pertarungan memenangkan rivalitas dalam merebut
kaum muda [ fastabikul-khoirot ]. Sebagai mana diketahui
sebagaimana organisasi yang bergerak di wilayah
pelajar bukan hanya IPNU, tapi juga ada
IRM, PII, bahkan organ mahasiswa KAMMI
yang sudah masuk melalui organisasi Rohis
di sekolah-sekolah favourite. Pertarungan di
wilayah ini menjadi menarik, sebab
dikemudian hari menentukan peta masyarakat
ke depan. Jika saat ini masyarakat NU masih pinggiran,
katakanlah, hanya menguasai DEPAG, sebab
sampai saat inipun IPNU-pun hanya bisa
bermain di wilayah pinggiran. Bahkan di
wilayah maarif, atau di pesantren yang
memiliki pendidikan formal, yang merupakan
kandang sendiri , IPNU belum cukup mampu
berkibar. Ringkasnya, pergulatan di wi
wilayah ini dapat di simpulkan ; penguasaan
organisasi kita dibasis pelajar secara
sosiologis menentukan penguasaan NU terhadap
sumber daya manusia berkualitas. Jika tetap
dipinggiran, ke depan ya tetap di
pingiran, sekalipun , misalnya, secara politik
menguasai parlemen, atau birokrasi. Berapa
sekolah /universitas umum atau negeri yang
berhasil diorganisir IPNU merupakan gambaran
sejauh mana kekuatan IPNU di masyarakat
saat ini dan kekuatan saat ini dan
10 tahun mendatang.
Pada medan kedua, pertarungan tersebut
akan menghadap-hadapkan antara IPNU sebagai
representasi kekuatan masyarakat dengan negara
atau kekuatan modal. Disini peran kritis IPNU dalam
mendorong kebijakan publik yang populis di
bidang pendidikan amat strategis. Mendorong kebijakan
tersebut sama artinya menciptakan masyarakat pembelajar melalui jalur
struktural. Logikanya demikian. Untuk saat ini, menurut data Depdiknas tahun
2000, terdapat paling tidak 7,2 juta anak yang tidak dpat menyelesaikan bangku
sekolah, yang terdiri dari 2,9 juta usia SD, dan 4,3 usia SMP. Pada sisi yang lainnya, beaya pendidikan
semakin lama semakin mahal. Bahkan kian mencekik. Sementara jumlah masyarakat
miskin Indonesia, jika mengacu kepad` bank Dunia, mencapai 110 juta jiwa . Dengan
mengasumsikan sebagian besar warga Nahdliyin adalah kelas menengah kebawah,
maka sebagian besar korbannya adalah juga warga nahdliyin. Disinilah terjadinya
kesenjangan antara kekuatan sosial ekonomi masyarakat dan biaya pendidikan
akibat komersialisasi dan larinya negara dalam menunaikan tugasnya. Nah, jika
IPNU berhasil mendorong kembali kebijakan pendidikan murah untuk rakyat atau
bahkan geratis, sekali gerak, IPNU mampu menciptakan masyarakat pembelajar
signifikan. Minimal memperbanyak jumlah masyarakat yang sekolah. Dengan sekolah
berarti menjadi salah satu masyarakat pembelajar.
Seiring dengan otonomi daerah, maka sinerginitas gerakannya dilakukan
dengan membagi wilayah gerak. Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab
pengurus pusat untuk mengkritisinya dan mem-break down-nya kebawah. Sedangkan
untuk kebijakan lokal seperti dalam anggaran pendidikan dalam APBD menjadi
bagian kerja yang tidak dapat dilalaikan dari kepengurusan tingkat cabang. Gerakan
kritis tersebut bukan hanya dibidang anggaran, namun juga yang lainnya. Kenyataan
menunjukkan, anggaran pendidikan yang serba kurang masih dikorup dalam ruang
lainnya. Seperti belanja negara dalam bidang pendidikan. Kasus di Ungaran Jawa
Tengah yang menjadikan pengadaan buku sekolah menjadi bancakan eksekutif dan
legislatif merupakan contohnya. Di wilayah non anggaran, IPNU juga harus
memberikan sikap yang kritis terhadap berbagai isu pendidikan seperti
kontrofersi ujhan nasional.
Persoalannya adalah, problem pendidikan, dan dengan demikian problem
masyarakat pembelajar, bukan hanya soal anggaran. Dalam sekolah atau
universitas, dipenuhi sekian problem. Ini tidak lepas dari intervensi berbagai
kepentingan dan ideologi dalam sekolah. Ideologi dan kepentingan modal merupakan
yang paling dominan. Dengan ideologi ini masyarakat pembelajar diproyeksikan
untuk menjadi bagian dari sistem produksi dan konsumsi. Akibatnya, fungsi
pembelajaran sebagai pencerahan dan pembebasan menjadi hilang.
Sekolah juga menjadi ajang reproduksi kekerasan di masyarakat. Pola
pengajaran dan pembelajaran yang mengedepankan perintah – paksaan mencetak
manusia-manusia robot yang menginternalisir tradisi kekerasan dalam dirinya. Kasus
perkelaian pelajar, penganiayaan atau pembunuhan yang melibatkan siswa, tidak
dapat dilepaskan dari paradigme pendidikan.
Sekolah kita, mengutip kiosaki, juga bukanlah menjadi ruang pembelajaran
yang mampu mengubah seseorang. Sekolah menciptakan mentalitas budak, mentalitas
birokrasi dan gagal untuk sekedar mendorong manusia untuk bermimpi. Dalam
rutinitasnya yang menjengukkan, sekolah justru menciptakan ketakutan. Sekolah
menciptakan ketakutan orang untuk ketakutan salah, takut mencoba sehingga tidak
transparatif dan kreatif. Out putnya pun jauh dari karakter yang mampu
mendorong perubahan.
Selain ranah struktural di atas, peran IPNU juga penting dalam ranah kedua,
yakni kultural. Disini bahkan wilayahnya lebih luas. Mencakup bukan hanya
sekolah, namun juga pesantren, santri dan masyarakat lainnya. Dalam ranah
kultural ini membutuhkan waktu yang amat panjang, dan dengan demikian,
kesetiaan permanen terhadap agenda ini. Tradisi membaca merupakan kultur yang
tidak dapat diciptakan begitu saja. Namun membutuhkan rekayasa kebudayaan
panjang.
Mendorong Terwujudnya Masyarakat Pembelajar
Kepeloporan IPNU dalam menciptakan masyarakat pembelajar ini dapat
dilakukan dengan beberapa acara. Pertama, memulai dari sendiri.
Artinya, pengurus IPNU juga harus bisa menjadi uswah khasanah, menjadi
inspirasi bagi masyarakat, dengan membuktikan dirinya memiliki prestasi
akademik yang membanggakan. Pengurus IPNU yang memiliki tradisi akademik bagus
akan mendorong masyarakat untuk mencontohnya.
Kedua, menggalang
dana beasiswa, dari masyarakat untuk membiayai pendidikan bagi masyarakat yang
tidak mampu untuk meneruskan pendidikannya baik di Pesantren maupun sekolah.
Potensi untuk ini amat besar. Namun selama ini belum ada konsolidator yang
kredibel, transparan, akuntabel, yang memerankan peran ini di masyarakat
nahdliyin. Kuncinya hanya satu, bagaimana manajemennya cukup dapat dipercaya
oleh masyarakat. Disini ada dua varian yang dapat dilakukan, yakni menggalang
dana dari masyarakat dan menggalang kerjasama dari pemerintah, lembaga donor
atau universitas yang memiliki program bea siswa.
Ketiga, IPNU
secara berkesinambungan menyelenggarakan berbagai kegiatan bernuansa
kependidikan seperti bazar buku. Kegiatan ini menjadi penting bagi daerah yang
jauh dari akses pengetahuan. Dengan menyelenggarakan kegiatan seperti itu akan
mempercepat terciptanya masyarakat pembelajar. Langkah pertama dan utama kalau
kita ingin membuat anak kita keranjingan membaca, kata seorang penulis adalah
dengan menyediakan buku. Kegiatan ini akan mempercepat proses transformasi
kesadaran masyarakat.
Keempat,
melakukan semacam “Intervensi Kultural” dalam berbagai kegiatan
kultural NU yang masih sangat marak seperti Haflah, tasyakur, haul, atau
kegiatan lainnya. Intervensi yang dimaksud adalah menyisipkan agenda yang mampu
meningkatkan kesadaran akan pengetahuan. Seperti seminar prahaul diikuti
gerakan wakaf buku seperti yang sudah dilakukan pesantren Kesugian – Cilacap –
Jateng.
Dengan beberapa langkah tersebut,
IPNU akan menempatkan dirinya sebagai pelopor dan pendorong masyarakat
pembelajar.
Sumber: http://ipnu.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar